Follow Me

Minggu, 23 Januari 2011

Refleksi Moralitas Bangsa

Armstrong (2001) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Tuhan mengulas secara eksklusif tentang realitas ketuhanan manusia secara sekuensial dalam paradigma komparatif, namun perbandingan itu tetap berada pada koridor pemaparan yang objektif. Dalam buku tersebut, Armstrong menjabarkan sebuah tema ketuhanan tentang agama-agama besar di dunia ini dalam desain berpikir yang universal, melalui garis sejarah yang inheren dalam analisis historisnya. Ia juga menyisakan ruang evaluasi bagi pembaca yang ingin menganalisis fluktuasi penerapan konsep moralitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tonggak perkembangan ilmu pengetahuan—yang dirintis oleh ilmuwan abad XIX dan XX—yang dihadapkannya secara frontal dalam bab-bab terakhir buku itu, memperlihatkan perkembangan disiplin ilmu pengetahuan berdasarkan landasan filsafat yang dipilih masing-masing ilmuwan, yaitu empirisme, materialisme, atau idealisme. Ada perbedaan persepsi yang signifikan dalam perjalanan sejarah agama maupun ilmu pengetahuan, yang kemudian keduanya melakukan pembauran dalam pembentukan kultur berpikir manusia. Terakhir, simpulan yang primordial pada rangkaian kalimat yang tertuang dalam buku itu adalah bagaimana posisi struktural Tuhan dalam diri manusia saat ini dan di masa depan.

Dengan melintasi batas komparatif dalam kerangka historis antaragama yang dianalisis Armstrong pada buku tersebut, realitas ketuhanan manusia Indonesia saat ini berada pada fase penentuan keputusan. Kita tidak menganalisis konsep-konsep agama tertentu seperti yang ia tuliskan, tetapi memahami gemericik kegelisahan tentang eksistensi Tuhan dalam pola pikir yang realistis di masa kini dan masa yang akan datang.

Kita diminta untuk mengambil sebuah keputusan yang problematis, yaitu apakah Tuhan masih tetap memiliki makna bagi kita, bangsa Indonesia, saat ini dan di masa depan, atau tidak?

Sekilas, interpretasi yang kontroversial itu—terlukis pada penggunaan istilah problematis—merupakan gambaran realitas bangsa ini yang bersentuhan dengan krisis pencapaian esensi ketuhanan bangsa ini. Diakui bahwa tidak semua lapisan masyarakat mengalami pergeseran nilai-nilai dan pemahaman ketuhanan, tetapi ada sebagian masyarakat yang telah berpaling dari belaian keluhuran esensi moralitas itu. Paling tidak, ada tiga jenis manusia Indonesia yang menggambarkan kondisi ambivalensi pemahaman nilai-nilai itu.

Pertama, manusia Indonesia yang telah kehilangan kepekaan moral. Jenis ini merupakan ragam individu yang menyusun kaleidoskop agresivitas dan tanpa etiket dalam momen-momen aspiratif dan pemenuhan kepentingannya. Perlahan-lahan, peristiwa demi perisitiwa yang merajut sejarah bangsa Indonesia, ia tampakkan melalui pembangkangan terhadap nilai-nilai moral yang telah dianut masyarakat. Ia adalah manusia dengan karakter perilaku penjahat tulen, yang tanpa ragu-ragu menunjukkan eksistensinya sebagai anggota masyarakat yang mengabaikan keutamaan akhlak dan budi pekerti. Sekumpulan atau sekelompok manusia jenis ini berimplikasi pada terbentuknya komunitas yang kehilangan kepekaan moral yang seharusnya mereka miliki.

Kedua, manusia Indonesia yang memalsukan nilai-nilai moral. Tanpa disadari, terdapat juga segelintir individu yang—katanya—masih berkomitmen untuk menghiasi perspektif dan tingkah lakunya dengan kerangka moralitas yang luhur, namun turut meleburkan harapannya dalam rentang peristiwa yang menunjukkan kemerosotan moral itu. Entah itu melalui sikap yang putus asa, atau justru mengikuti pola-pola amoral yang tersedia dalam mata pelajaran anarkis. Tak jarang individu-individu jenis ini membentuk suatu komunitas yang menamakan dirinya sebagai gerakan penegak nilai-nilai moral masyarakat. Setelah itu mereka bergerak secara kolektif untuk menegakkan nilai-nilai itu dengan pola-pola kekerasan yang melanggar hukum dan hak asasi manusia. Kemudian, tak lama setelah adegan-adegan pembantaian dilakukan, mereka berdiri dengan gagahnya seraya berkata,”Kami telah melaksanakan perbaikan moral masyarakat…”. Sayangnya, mereka lupa menambahkan kalimat,”…dengan cara yang tidak bermoral.” dalam deklarasi—secara deklamasi—itu.

Ketiga, manusia Indonesia yang konservatif terhadap moralitas, yaitu warga Indonesia yang senantiasa menjaga diri dan perilakunya dalam komitmen yang unitif terhadap upaya melestarikan nilai-nilai moralitas yang murni. Jenis ini merupakan individu yang memiliki prinsip moralitas dan konsisten terhadap prinsip itu dalam segala aspek kehidupannya. Individu ini menganut asas keteguhan dalam konsep keyakinan dan ritualnya, dan toleransi yang faktual tentang pluralisme di bangsa ini. Ironisnya, individu-individu yang termasuk dalam kategori ini mengalami kondisi yang dilematis. Dilemanya adalah jenis komunitas terakhir ini terbentur pada tidak adanya dukungan lingkungan yang signifikan terhadap pelestarian nilai-nilai moralitas itu. Mereka menjadi komunitas yang kebutuhan moralnya diombang-ambing oleh ketiadaan self-control dari dua komunitas sebelumnya.

Tiga jenis manusia Indonesia tersebut merupakan refleksi keadaan moralitas masyarakat Indonesia saat ini. Problematika moralitas tersebut adalah bentuk kegagalan pemahaman manusia Indonesia terhadap nilai-nilai ketuhanan yang esensial sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Dua kategori pertama adalah sumber bencana moralitas negeri ini karena mereka membawa petaka kegagalan nilai-nilai spiritual yang mereka anut.

Moralitas adalah ranting dari pohon spiritual. Etiket atau kesusilaan merupakan reaksi dari jiwa yang telah menempuh perjalanan spiritual yang tulus, karena tanpa ketulusan dalam melaksanakan nilai-nilai spiritual maka moralitas sebagai reaksinya tidak akan terwujud. Reaksi itu merupakan bukti hukum sebab-akibat yang sudah berlaku sejak dulu, yaitu sejak masing-masing agama menciptakan peradaban moralitas bagi setiap penganutnya.

Agama adalah landasan ideologi manusia yang tertinggi. Kemudian, agama juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum moralitas karena ideologi itu mengandung muatan kredibilitas moral yang tertinggi. Sejarah telah mencatat bahwa setiap suatu agama tertentu yang dibawa dan disampaikan oleh seorang Rasul atau Utusan Yang Maha Mulia selalu memiliki satu tujuan utama, yaitu bagaimana memperbaiki dan meningkatkan kualitas perilaku umat manusia yang dipimpinnya. Proses improving quality of behaviour tersebut memasuki horison nurani manusia tentang kemuliaan perilaku terhadap sesama manusia dan kepada Tuhannya.

Tujuan utama setiap agama adalah menciptakan kualitas perilaku yang humanistik dan spiritualistik secara seimbang. Oleh karena itu, setiap agama di dunia ini merupakan ideologi fundamental untuk menciptakan moralitas yang sesungguhnya, yaitu standar tingkah laku, budi pekerti, etiket, dan kesusilaan yang komprehensif, baik secara horizontal—sesama manusia—maupun vertikal—kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi, dengan memahami agama maka aktualisasi perilaku yang muncul adalah standar moralitas yang komprehensif tersebut.

Fungsi dan peran agama dalam menciptakan sistem-sistem perilaku manusia yang sehat dan adaptif terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai spiritual yang objektif telah dibuktikan oleh para ahli ilmu jiwa (Hawari, 1999). Lebih jauh lagi, telah ditemukan bagian otak manusia yang dianggap sebagai God Spot atau God Modul. Area otak itu disimpulkan sebagai area yang berkaitan langsung antara anatomi-fisiologis manusia dan Tuhannya (Zohar & Marshall, 2001). Dengan adanya penemuan-penemuan itu, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan perilaku yang memenuhi standar moralitas personal sangat ditentukan oleh komitmen spiritual individu tersebut. Jadi, tidak ada alasan bagi 5 % individu yang menganut paham ateis di muka bumi untuk mengatakan bahwa moralitas terpisah dari agama, apalagi bagi 95 % lainnya yang mengaku beragama.

Dengan demikian, tindakan konkrit yang harus dilakukan setiap elemen bangsa Indonesia untuk memperbaiki moralitasnya adalah membangun kesadaran tentang fungsi dan peran agama secara utuh. Setiap anggota masyarakat harus kembali pada kiblat agama masing-masing dan menjalankan perintah agamanya itu. Integrasi antara kesadaran untuk kembali dan menjalankan perintah agama merupakan kesatuan perilaku yang berimplikasi pada pembentukan standar moralitas personal. Dengan lain perkataan, spiritualitas manusia Indonesia merupakan kata kunci dalam membuat potret moralitas baru dalam pigura Negara Kesatuan Republik Indonesia hari ini, maupun hari depan. Oleh karena itu, solusi permasalahan moralitas bangsa ini tidak memerlukan penjabaran solusional yang rumit dan berbelit-belit, akan tetapi cukup dengan mengembalikan kedudukan agama ke dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tentu saja perbaikan kualitas moral itu akan berhasil apabila resolusi spiritual yang diterapkan mencakup nilai-nilai agama yang konseptual dan teknis (ritual) secara tulus dan konsisten.

Akhirnya, dengan memahami esensi moralitas secara utuh dapat disimpulkan bahwa standar moralitas yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini adalah mengaktualisasikan nilai-nilai spiritual dalam setiap agama yang diatur di Indonesia. Apabila setiap anggota masyarakat di negara ini berhasil mengimplementasikan nilai-nilai itu, maka tidak akan terlihat lagi para demonstran yang anarkis di jalanan. Jika kaum ekstrimis—yang katanya spiritualis—mampu memahami nilai-nilai spiritualnya dengan tulus, tidaklah mengherankan apabila pola anarkis yang mereka terapkan akan berubah menjadi pola pendekatan yang lebih persuasif.

Apabila setiap pemimpin bangsa ini bersedia mencerna dan menyerap prinsip-prinsip moralitas yang komprehensif—karena berlandaskan nilai-nilai spiritual, maka tipe pemimpin yang digambarkan Thomas Aquinas akan merobohkan reinkarnasi Niccolo Machiavelli (lihat Magnis, F-Suseno. 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia) yang tengah memimpin bangsa ini. Lebih jauh lagi, kita tidak perlu mendengar anggota legislatif dan yudikatif yang terlibat kasus suap mau pun tertangkap basah dalam melakukan hubungan seksual di luar nikah. Seiring dengan itu, pertanyaan apakah Tuhan masih memiliki makna bagi kita, bangsa Indonesia, saat ini dan di masa depan akan terjawab secara memuaskan.

Kepustakaan

Armstrong, K. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Penerbit Mizan

Hawari, D. 1999. Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa

Magnis, F-Suseno. 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia

Zohar, D dan Marshall, I. 2000. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Penerbit Mizan.